AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH: GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)


AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH:
GOLONGAN YANG SELAMAT
(al Firqah an-Najiyah)

Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di
antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya
yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka
lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal,
mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja
Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal.
Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai
peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara
tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran
akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran
yang dibawa para nabi.
Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan
akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya
mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak
bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah
tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab
“Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut).
Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang
Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya,
dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
PEMBAHASAN
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad
permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang
terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan
lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat
dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan
bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan
kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui
secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita
tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang
diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama
mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.
Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa
mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.
Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah
Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar
iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:
Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.
(H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad
yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh
Rasulullah dalam sabdanya :
Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian --
mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang
setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan
jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua
orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia
berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini
Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu
menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti
ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri
dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas
mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat
Muhammad dari sisi kuantitas.
Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan.
Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur,
diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan
kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang
menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut
Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.
Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama
salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal
Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:
Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah
Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang
membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324
H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– datang
dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat
nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil
naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai
dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan
untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij
tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada
keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-
Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para
pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka
adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh
al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian
masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya
saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas
dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).
Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya
perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah r
melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud
mengatakan bahwa Rasulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj.
Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah
dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad
r sehingga dapat melihat Allah.
Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan
sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H)
mengatakan:
“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan
al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah
aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya
keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi
dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini
oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia.
Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di
seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama
al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko,
Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di
negara-negara lainnya.
Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam
mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.
Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok
atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar.
Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu
lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu
yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari
kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini
sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan
sahabat Jundub:
Maknanya: “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari
iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka
bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-
Bushiri).
Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam
yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk
membela aqidah mereka yang sesat.
Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan
Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan
tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu
kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam
karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti
Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,
sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji
ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang
sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah
taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan
argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya,
sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan
golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi
yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga
membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al-
Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi
Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah.
Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam
Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini.
Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam
kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam
kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al-
Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan
lain-lain.
Allah berfirman:
Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)
Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid.
Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada
perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama.
Ketika Rasulullah r ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau
menjawab:
Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang
yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:
Maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut
kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai
penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath-
Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al
‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-
Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-
Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599
H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian
menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik
dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak
kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal
dengan nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i,
mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah
di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara
Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman
sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila
Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang
telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan
itu terus berlangsung.
Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa
aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah.
Amin. []
KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH ASY'ARIYYAH; AQIDAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-
Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan
kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan
nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf,
hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga
tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para
pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah
ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama
sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya
lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah
penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya
disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama
sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik
menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..
demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".
Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang
benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari.
Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap
masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini
sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah
aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan
habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.
Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:
وكن أشعريا في اعتقادك إنه هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر
"Jadilah pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang
bersih dari kesesatan dan kekufuran".
Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr
al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah".
Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :
"Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah
para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah". Bahkan jauh
sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa
aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab
Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al
Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh
para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab
Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di
masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh
putranya Tajuddin as-Subki.
GARIS BESAR AQIDAH ASY'ARIYYAH
Secara garis besar aqidah asy'ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah
wal jama'ah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu
bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang
berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya
(laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi
ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak
diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah
menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan,
dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha
suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan
anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia
tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam,
menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.
Ia tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena
apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha
hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia
berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga
azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan
perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia
telah kafir.
Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga
yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya
dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-
Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan
hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya.
Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci
dari segala bentuk kekurangan.
Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia
diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia.
Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar