Tulisan ini al faqir riwayatkan dari Al-Akh Fillah Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli –Hafizhahullahu-
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam kalender hijriyah Arab setelah bulan Muharram, atau jika dalam kalender hijriyah Jawa jatuh setelah bulan suro yang lazim disebut sapar.
Pada bulan shafar, banyak sekali kaum Muslimin di tanah air yang melakukan tradisi bersedekah dengan membuat bubur Shafar (bubur sapar) atau mungkin dalam bentuk lain yang lazim disebut selametan. Bubur tersebut dibuat secara khas dan dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal tersebut dilakukan karena ada sebuah hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, ulama ‘salafi’ dan murid Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ r ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi r membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Di sisi lain, agama kita juga melarang meneliti waktu-waktu yang disangka mendatangkan kesialan dan ketidakberun-tungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang lain meyakini datangnya kesialan dengan waktu-waktu tertentu, agama kita menganjurkan kita agar melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidakberuntungan) seperti berdoa, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama ‘salafi’ dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:
وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbin-tangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah I dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah I.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).
Nah, berdasarkan hal inilah para ulama kita di Nusantara sejak dulu menganjurkan memperbanyak bersedekah di bulan Shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur Shafar. Bahkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, tidak sedikit ulama kita yang melakukan tradisi Shalat Rabu Wekasan (=hari Rabu pada minggu terakhir bulan Shafar) dan membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar dari malapetaka. Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya sial berdasarkan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas t, Nabi r bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Demikian beberapa tradisi umat Islam Nusantara dalam pandangan ahli hadits dan para ulama salafi, rujukan utama kaum Wahhabi, seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, serta para pengikutnya, dan Syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid dan para pengagumnya. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar