(tulisan ini dicopy pastekan dari artikelnya @ M. Mas’ud Adnan (Direktur Umum Harian Bangsa, Wakil Direktur Komunitas Tabayun, yang pernah dimuat di Jawa Pos dengan judul : Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November )
Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah sangat penting bagi bangsa Indonesia, terutama umat Islam. Sebab, pada momentum 10 November itulah, nasionalisme mendapat pemaknaan sangat signifikan dalam paradigma keagamaan. Nasionalisme yang semula dipahami sebagai wilayah di luar agama ternyata bagian dari kewajiban syar’i yang harus diperjuangkan.
Tampaknya, kerangka pemikiran itulah yang kemudian menjadi salah satu dasar umat Islam untuk terus merawat Pancasila dan UUD ‘45, terutama NU yang memang punya saham besar bagi lahirnya negeri ini.
Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.
Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Alquran. Sekali lagi, membela tanah air?”
Hadhrotusy Syaikh KH.M. Hasyim Asy'ari (Mbah Hasyim) yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945.
Pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Mallaby tewas.
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq (kelak menjadi presiden Republik Islam Pakistan) heran menyaksikan kiai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq trenyuh, dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap Zia-ul-Haq itu membuat pasukan Inggris kacau.
Fatwa Mbah Hasyim sebenarnya ditulis 17 September 1945. Namun, kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November yang diperkuat lagi pada muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29 Maret 1946.
Dalam pidatonya di hadapan peserta muktamar, Mbah Hasyim menyatakan, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah. “…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” tegas Mbah Hasyim.
Mengapa Bung Karno meminta fatwa kepada Mbah Hasyim? Agaknya, ada beberapa alasan. Pertama, Mbah Hasyim ulama karismatis yang menjadi pusat kiai se-Jawa dan Madura sehingga fatwanya sangat efektif untuk rakyat.
Kedua, Surabaya adalah pusat pergerakan NU, sedangkan Mbah Hasyim adalah rais akbar NU. NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Kota Surabaya inilah yang menjadi pusat pergerakan awal NU sebelum kemudian berpindah ke Jakarta.
Ketiga, NU pimpinan Mbah Hasyim sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH M. Yusuf Hasyim -Pak Ud).
Saat itu, posisi ketua ormas belum menjadi rebutan seperti sekarang. Sebab, ketua ormas, terutama pemuda, harus berani mati. Jadi, taruhannya nyawa. Pak Ud pernah mengungkapkan anekdot kepada penulis dan teman-teman. Menurut dia, saat itu memang dilematis. Kalau maju mati, kalau mundur haram. “Agar tak kena hukum haram, ada yang memilih mundur dengan cara berjalan miring,” katanya, lantas tertawa.
Demikianlah, peran Resolusi Jihad dalam merebut kemerdekaan sangat besar. Tapi, -seperti kritik Martin Van Bruinessen- NU tak pernah mendapat tempat memadai dalam berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar